Day 6 – 8 Januari (Pasar Khilaf I)


Pagi hari kami berencana untuk keliling Kota Phnom Penh dengan berjalan kaki. Tapi sebelum itu rasanya kurang afdhol kalau nggak isi perut dulu. Hari ini kami berenca melakukan pengiritan. Jadilah kami akan membuat mie instan yang kami bawa dari Indonesia. “Tapi masaknya gimana nih?” Seru Mas Gasa.
“Beli di kafe bawah aja,” jawabku.
“Masa ada sih? Ini masih pagi loh, lagian di bawah kan kafe-nya jualan bir,” seru Mas Gasa kemudian. Tiba-tiba terdengar teriakkan dari kamar mandi. Mbak Rias yang sedang di dalam  toilet ternyata kaget kepanasan. Pasalnya, air hangat di kamar mandi panasnya memang keterlaluan, berasa mandi dengan air mendidih.
“Eh, ini gimana sih biar airnya nggak mendidih?” teriaknya dalam kamar mandi.
“Ya itu di puter aja krannya,” jawab Mbak Fiyya.
“Gimana kalau kita masak mie pake air panas kamar mandi?” usul Mas Gasa tiba-tiba.
“Wooh, bener tuh! Pakai air kamar mandi aja, puaannas banget sumpah,” Mas Hengki menyetujui.
“Ah, jangan ah, masa pakai air kamar mandi?” ucapku menolak.
“Kan itu udah panas, udah mateng istilahnya,” terang Mas Gasa.
“Ogah ah, beli air panas di bawah aja, nanti perutnya kenapa-napa loh,” ucapku tetap menolak.
“Ya terserah deh,” jawab Mas Gasa.
“Apaan sih?” ucap Mbak Rias penasaran yang baru keluar dari kamar mandi. Mas Hengki kemudian menerangkan permasalahan kami untuk memasak mie instan. “Halah, kalau keadaan kaya gini mah nggak usah terlalu steril. Jangan terdoktrin pikiran bakal sakit perut atau nggak sehat. Yakin aja Insyaallah aman kok. Udah nggak papa pakai air kamar mandi aja,” lanjutnya kemudian.
“Nah, iya itu Mbak, bener,” Mas Ario dan Mas Hengki kompak menyetujui. Tak lama dari persetujuan kami dan keyakinan kami bahwa kami akan aman sehat sentosa, kami pun memasak mie instan yang kami bawa dengan menggunakan air panas kamar mandi.
Mas Gasa dan Mbak Rias sibuk mempersiapkan mie, sedangkan aku sibuk mengambil air panas kamar mandi. ‘Ya Allah, Bismillahirrohmanirrohiim, berikan kesehatan Ya Allah,’ doaku dalam hati seraya menadahi air panas yang keluar dari shower. Dengan mengucap basmallah, kami pun mengisi perut kami dengan lahap.
“Ini kayanya cuma jadi pengantar aja deh,” ujar Mbak Fiyya disela-sela makan.
“Iya nih, tar jam 10-an mungkin udah laper lagi,” jawab Mbak Rias yang asyik menikmati santapannya.
“Ya kalau laper lagi ya beli lagi,” jawab Mas Gasa enteng.
“Sama aja dong niatan irit kita berarti cuma lewat doang,” ucapku kecewa.
“Seenggaknya kita udah usaha,” jawab Mas Ario menenangkan. Usai sibuk makan kami pun melangsungkan perjalanan. Kami memulainya dengan berjalan ke arah Royal Palace yang merupakan tempat yang paling dekat dengan hostel kami.
Kondisi di sekitar lingkungan Royal Palace ini cukup memprihatinkan menurutku. Pasalnya di sekitar lingkungan ini kondisinya terkesan “kumuh”, entah pihak kerajaan yang kurang memperhatikan lingkungannya, atau memang masyarakat di lingkungan itu sulit diperhatikan. Hal ini terlihat dari adanya gubuk-gubuk kecil yang ditinggali di sekitar taman (semacam alun-alun) tepat di samping Royal Palace. Selain itu, kondisi sampah yang berserakan juga terpampang nyata di dekat Royal Palace ini. Hal ini membuatku dan teman-teman merasa lebih bersyukur bisa hidup di Indonesia, karena setidaknya kami sebagai warga negara Indonesia lebih menjaga kebersihan saat ini. Temen-temen pembaca juga kan? ;)
Royal Palace ini tepat menghadap ke arah cabang pertemuan Sungai Tonle Sap dan Sungai Mekong, luar biasa kan? Kami sempatkan duduk-duduk menikmati pemandangan di tepi percabangan sungai ini. Di sepanjang tepi sungai berkibar bendera-bendera seluruh negara di dunia. Rindu kepada Indonesia mulai terasa saat kami melihat Sang Merah Putih meliuk-liuk indah di atas awan (aduhai bahasanyaa... :P).
Kami melanjutkan perjalanan hingga menemukan sebuah truk box besar yang mirip dengan mobil para traveller di National Geography Channel. Plat mobilnya pun berbendera Uni Eropa, wah rupanya si empunya mobil sedang melakukan ekspedisi nih! Dugaan kami pun benar, saat kami melihat-lihat sambil memberikan sentuhan kepada si mobil ini, sontak ada bapak-bapak teriak dari kejauhan, “DON’T TOUCH! DON’T TOUCH!” kami sangat kaget dibuatnya. 
Karena rasa KEPO kami yang tinggi, kami pun melakukan sedikit interview pada beliau. Ternyata pemilik mobil besar itu memang berasal dari Eropa yang sengaja meninggalkan mobilnya terparkir di pinggir jalan dan si empunya sedang asyik mengelilingi Laos. Mobil ini terparkir di depan tempat peribadatan yang biasa disebut dengan Wat atau Temple.

Kami juga sempat mampir ke dalam untuk melihat-lihat tempat peribadatan mereka. Di sana terdapat karpet merah yang sudah rapi bergaris menjadi kotak-kotak lengkap dengan nama mereka masing-masing. Suasana di dalamnya sunyi seperti tempat peribadatan lain. Tanpa pikir panjang, aku, Mbak Fiyya, dan Mbak Rias pun mencoba mempraktikkan barisan shaf beribadah di tempat ini. Ulah kami membuat tangan Mas Gasa gatal untuk mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen ini. Alhasil, jadilah pose foto muka penuh dosa kami.
Usai melihat-lihat temple, kami pun melanjutkan perjalanan lagi menuju Phnom Wat yang terletak di pusat kota. Tapi sebelum pergi melanjutkan perjalanan, sepertinya energi dari mie yang telah kami makan sudah habis, sehingga perut kami pun berdendang “lagi.” Kami pun berbelok arah menuju Warung Bali sebelum menuju ke Phnom Wat. Kami memesan makanan dengan lahap seakan belum sarapan dan alhasil kami pun kekenyangan dengan menu yang kami pesan. Sebelum meninggalkan Warung Bali, Pak Firdaus berpesan kepada kami untuk membeli sutera kamboja di toko langganannya. Beliau pun rela memberikan kami “key word”beliau untuk mendapatkan diskon jika berbelanja di toko tersebut. Baik banget kan beliau.. ** (Terharu!)
Kami melanjutkan perjalanan menuju Phnom Wat yang terletak kurang lebih 1,5 km dari Warung Bali. Kami memutuskan untuk berjalan menuju tempat tersebut. Seperti biasa, kami berjalan sambil bergurau ngalor-ngidul sambil sesekali berfoto, hihi. Hal ini yang membuat rasa capek kami hilang.
Phnom Wat merupakan salah satu Wat yang biasa menjadi tempat destinasi para turis asing jika mampir ke Phnom Penh. Kami mendapati banyak turis asing berkunjung ke Wat ini. Dari fisik bangunannya, Wat ini sangat jauh berbeda dengan Angkor Wat yang terkenal itu. Bangunan Phnom Wat ini lebih sederhana dan lebih modern menurutku. Untuk turis lokal yang ingin masuk ke area Phnom Wat ini tidak dipungut biaya, sedangkan untuk turis asing harus membayar uang retribusi sebesar 1 USD.
Phnom Wat ini memiliki fungsi yang sama dengan Wat yang ada di dekat Royal Palace. Bedanya, Phnom Wat memiliki taman yang lebih besar dan letaknya di atas bukit di tengah kota dan Phnom Wat lebih ramai dikunjungi daripada Wat yang tadi. Kami pun berfoto ria dan sesekali mengambil vidio. Saat Mas Gasa dan Mas Hengki sibuk merekam, sedangkan Mas Ario sibuk berkeliling, aku, Mbak Rias dan Mbak Fiyya sudah mulai bosan dengan keadaan di dalam Phnom Wat. Alhasil kami bertiga keluar dan pergi ke taman yang ada di bawah. Kami menemukan jam taman raksasa. Hebatnya jarum detik jam ini juga hidup berjalan berkeliling, luar biasaa! Tidak hanya jam taman raksasa saja, di sini juga ada kebun bunga matahari, tapi sayang bunga mataharinya masih kecil-kecil.
Aku dan Mbak Fiyya tidak mau ketinggalan momen untuk berfoto di depan Jam taman ini, sedangkan Mbak Rias memilih duduk santai menikmati pemandangan sambil menunggu Mas-Mas yang masih sibuk di atas. Sekitar 15 menit kami menunggu mereka, mereka tak kunjung turun ke taman. “Mungkin mereka langsung ke pintu masuk tadi apa ya?” ujar Mbak Rias celingukan.
“Iya kayanya, ya udah kita susul langsung ke sana aja yok!” seru Mbak Fiyya heran karena mereka tak kunjung turun. “Apa jangan-jangan mereka salat lagi di dalem,” imbuhnya penasaran. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 12.30 waktu Phnom Penh (tidak ada perbedaan jam antara Kamboja dengan Indonesia).
“Mau jamaahan sama Monk? Aneh-aneh aja Mbak, haha,” jawabku kemudian.
“Ya siapa tau, lah wong lama banget mereka di atas,” ucapnya.
Mereka ternyata juga tidak ada di pintu masuk. Kami pun menunggu mereka hampir setengah jam di sana. “Harusnya mereka tuh balik ke sini loh, jalan keluar sama jalan masuknya kan sama,” ujarku heran.
“Iya, lagian seengaknya kalau udah ilang gini kan harusnya ketemu di titik awal kumpul, mana nggak ada wifi juga,” kata Mbak Rias mulai geram.
“Ya udah Mbak, coba aku lihat mereka di taman yang tadi ya, siapa tau mereka udah turun,” ucapku sambil berjalan cepat menuju taman. “Oya, tunggu di situ yaaa,” teriakku dari jauh. Alhasil, yang kutemui saat di taman hanya keheningan saja. Tidak ada orang sama sekali. Aku pun berjalan agak menjauhi taman, di sana hanya kutemui beberapa orang saja dan itu bukan mereka. Frustasi mencari mereka, akhirnya aku pun balik menuju pintu masuk menemui Mbak-Mbak. ‘Gawat nih kalau terpencar, jangan-jangan udah pergi dari sini mereka,’ batinku.
“Nggak ketemu Mbak, gimana nih? Jangan-jangan mereka udah ninggalin kita ke central market? Apa langsung susul ke sana aja?” ujarku mulai putus asa.
“Yang bawa peta kan mereka, kita nggak tau jalannya,” ucap Mbak Fiyya.
“Ya udah lah tunggu 5 menit lagi,” ujar Mbak Rias menenangkan. Cuaca yang sangat panas sepertinya membatasi kesabarannya. Kesabarannya pun cuma bertahan tiga menit. “Aku coba susurin taman lagi deh, tunggu di sini ya,” ucapnya kemudian. Aku dan Mbak Fiyya pun menunggunya di area pintu masuk.
Cukup lama Mbak Rias menyusuri taman. Tiba-tiba aku melihatnya berjalan ke arah kami. “Eh, mereka di sana, ayo sini!” ujarnya dari jauh seraya tangannya memberikan kode. Aku dan Mbak Fiyya pun berlari mendekatinya. Mereka ternyata baru saja turun. ‘Alhamdulilllah nggak jadi ilang,’ batinku dalam hati.
Sebelum menuju central market, kami sempatkan mampir ke Islamic Center di Phnom Penh yang letaknya sekitar 1,5 km dari Phnom Wat. Pak Firdaus kemarin malam juga membahas Islamic Center ini, katanya Islamic Center di Phnom Penh sangat bagus seperti masjid raya di Indonesia. Kami memutuskan untuk berjalan menuju masjid raya tersebut.
Cuaca yang sangat panas dan berdebu sedikit membuat kami ragu untuk berjalan, tapi karena ini perjalanan ke masjid, kami relakan rasa capek kami terganti dengan butiran-butiran amal kebaikan (Asseek :P). Benar saja, perjalanan ke masjid ini terasa sangat jauh. Ya Allah, godannya luar biasa. Kami hampir putus asa dan ingin meneruskan dengan tuk-tuk. Tapi semangat kami mengalahkan itu semua.
Ketika menara masjid sudah terlihat, ada kesenangan sendiri bagi kami. Seakan melihat pemandangan yang luar biasa, kami pun tergesa-gesa memasuki masjid. Ketika di dalam masjid, aku, Mbak Fiyya dan Mbak Rias langsung tertelungkup di dalam sambil mengucap beribu syukur. Layaknya para musafir yang menemukan oasis di gurun pasir (lebay sih, tapi memang gitu rasanya :P). Kami tidak langsung menunaikan salat melainkan berbaring sejenak untuk mengistirahatkan aset utama perjalanan kami yang baernama kaki, haha. Usai beristirahat, kami pun langsung berwudlu dan menunaikan salat.
Usai salat dan beristirahat, kami lanjutkan perjalanan menuju central market. Kali ini kami menggunakan tuk tuk menuju central market. Ternyata jaraknya tidak jauh, hanya memakan waktu tiga menit dari Masjid raya menuju Central market. “Ternyata deket banget ya, tapi tadi kita jalan lama juga,” ujar Mbak Fiyya terheran. “Kayanya jaauuh banget gitu,” imbuhnya.
Sesampainya di pasar, kami langsung menuju tempat yang ditunjukkan Pak Firdaus melalui pesannya tadi pagi. Alhasil, kami berputar-putar kebingungan mencarinya. Akhirnya kami menemukan toko penjual sutera khas kamboja yang cukup baik. Tidak disangka si mbak penjualnya berhijab dan jago berbahasa melayu. Kami pun dengan mudah bertransaksi dengannya. Kami mendapatkan harga yang sangat ekonomis. Sesuai dengan saran Pak Firdaus juga, sebaiknya kami berbelanja menggunakan USD daripada menggunakan KHR karena lebih menguntungkan bagi pihak konsumen. Dari harga awal 9 USD kami hanya mendapatkannya dengan harga 3 USD. Alhamdulillah rezeki anak saleh. Mulailah kami mencomot berbagai oleh-oleh di toko Si Mbak Melayu. 
Usai melarisi dagangan Si Mbak Melayu, kemudian kami melihat-lihat kaos oleh-oleh di depan toko Si Mbak Melayu. Kami juga berhasil menawar kaos sampai harga 2 USD (pinter banget kan kalau urusan tawar menawar? Hehe). Alhasil, kami khilaf dibuatnya. Tanpa sadar, kami membeli banyak buah tangan dari central market ini. Aku yang berniat untuk tidak berbelanja di Kamboja akhirnya juga terhasut untuk membeli beberapa oleh-oleh dari Kamboja.
NNOOO!! Uang Dollar-ku pun habis di central market ini, huhu. Mau tidak mau aku harus tarik tunai di ATM terdekat untuk biaya hidup di Siem Reap. Oh iya, Mesin ATM di Kamboja menyediakan dua mata uang loh untuk tarik tunainya, jadi jangan khawatir untuk menarik tunai lewat mesin ATM di sini. Dari sini, Aku merasa sangat bersyukur karena orang-orang Indonesia masih cinta Rupiah. Bayangkan saja kalau di Indonesia juga menggunakan mata uang USD, pasti para pedagang akan ribet harus sering tukar uang, belum lagi nilai Dollar kan tidak melulu naik, kalau nilai Dollar turun pasti bakal rugi bandar para pengusaha kecil.

#TIPS 8 :
·      Meskipun Kamboja memiliki mata uang sendiri, tapi kebanyakan uang yang beredar di Phnom Penh adalah mata uang Dollar Amerika. Usut punya usut, menurut perhitungan traveller irit ala kami, belanja menggunakan USD akan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan mata uang Kamboja.
·      Menurut Pak Firdaus, salah satu WNI yang menetap berpuluh-puluh tahun di Kamboja, banyak kejadian pencopetan di central market Phnom Penh. Untuk itu, musti hati-hati dengan barang bawaanmu.
Cuaca di Kamboja sangat panas dan berdebu di siang hari. Jangan lupa membawa payung dan masker saat pergi keluar.

Komentar

Postingan Populer