Day 6 – 8 Januari (Bertemu Saudara)


Belanja oleh-oleh khas Kamboja sudah tercoret dari to do list kami hari ini. Usai dari Central market kami memutuskan untuk pulang dan istirahat sejenak. Sepulang dari Pasar kami dikejar oleh seoarang yang berparas ‘akhi’ lengkap dengan atribut jubah panjang dan jenggot yang cukup tebal. Sang Akhi mengaku bahwa ia adalah seorang muslim dan seorang musafir yang sedang melakukan hijrah. Beliau bercerita banyak tentang perjalanan hijrahnya dan sampai di penghujung ceritanya, beliau mengaku kehabisan uang dalam perjalanan panjangnya dan membutuhkan uang untuk perjalannya. Beruntung Mas Gasa sudah mengetahui modus-modus seperti ini. Sontak ia menolak permintaan Akhi tersebut, “We are really sorry, We can not help you brother, We are Musafir too,” ujarnya jelas.
Sang Akhi mulai sedikit memaksa kami agar memberikannya uang dengan dalih bahwa kami adalah saudara yang harus saling menolong dan berbagai alasan lainnya. Kami pun menjelaskan bahwa kami juga sedang dalam perjalanan panjang dengan budget yang sangat minim. Sampai pada akhirnya Akhi tersebut mengerti kondisi kami yang memang sedang tidak memungkinkan untuk membantunya. Beliau pun berpamitan dan mendoakan kami agar selamat sampai tujuan berikutnya. Pelajaran ini juga sebagai peringatan untuk kalian agar tetap waspada dan bijaksana dalam menghadapi modus-modus seperti ini meskipun di Luar Negeri.
Sesampainya di hostel kami pun langsung beristirahat dan membersihkan diri. Usai beristirahat dan membersihkan diri, kami membuat rencana keliling kota di malam hari. Kami tidak ingin berlama-lama untuk beristirahat karena besok pagi kami harus meninggalkan kota indah ini. Sebelum berkeliling kota, kami wajibkan untuk mencoba santapan masakan halal ala Phnom Penh di sekitaran hostel. Usai makan malam, kami memutuskan untuk mengunjungi destinasi para turis yang terdekat di tempat kami tinggal yakni monumen kemerdekaan yang sekaligus juga terdapat patung Bapak Norodom Sihanouk yaitu The King of Cambodia pada tahun 1941-1955 dan pada tahun 1993-2004.
Kami makan di tempat makan yang berlabel halal. Yup, karena kami mencoba cita rasa lain selain Warung Bali, kami menemukan salah satu tempat makan yang berlabel halal dengan masakan melayu. Ingin rasanya untuk mencoba masakan khas negeri ini, namun daripada meragukan, kami pun memilih menu yang aman yakni masakan melayu. Kami pun memesan nasi goreng dan mie goreng untuk menu malam ini, haha.
Di tengah-tengah kesibukanku menikmati makanan yang tersedia, Aku melihat siaran televisi yang ada di tempat makan tersebut. Aku terkekeh dengan tayangan yang disiarkan di televisi tersebut. Siaran televisi itu jauh dari siaran televisi yang aku tonton saat di Indonesia saat ini. Latarnya seperti pertunjukkan band Sonata saat Ibuku muda. Sontak teman-teman lain pun terkekeh dengan tontonan itu. Mbak Fiyya yang agaknya terkekeh paling keras penasaran dengan siaran televisi itu. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada pramusaji yang sedang melintas.
“Excusme Miss, Do you know? Is that old program in TV or the new one?” ucapnya sambil menahan tawa.
“No, No. That is old,” ujar pramusaji itu sambil tersenyum.
“Oooo,” ucap kami bebarengan.
“Hahahaha, tapi loh, masa iya muterin program dulu sih channel nya? Itu kaya tahun 90-an nggak sih latarnya?” Ujar Mbak Fiyya sambil tertawa.
“Hahaha, tapi emang jadul banget yo, tapi ya nggak mungkin juga masa itu tayangan jaman sekarang. Pasti udah maju lah,” Mas Hengki menimpali. Kami pun melanjutkan pembicaraan kami tentang tayangan tersebut sambil tetap terkekeh. Tidak lama setelah kami terkekeh tiba-tiba tayangan televisi tersebut berubah dengan yang lebih modern. Sontak kami pun tetap tertawa dengan tayangan tersebut. 
Untuk malam ini kami tidak lagi mengandalkan langkah kaki kami untuk menuju destinasi yang akan kami kunjungi. Kami memutuskan untuk menggunakan tuk-tuk. Mas Ario pun menawar tuk-tuk yang berjajar rapi di pinggir jalan. Banyak tuk-tuk yang menolak tawaran kami dengan alasan tidak rela kalau tuk-tuknya ditumpangi enam orang sekaligus yang sehat-sehat ini. Kami tetap teguh dengan menggunakan satu tuk-tuk. Akhirnya ada juga yang menerima keteguhan kami, meskipun dengan sedikit ‘grundelan’ di hatinya hehe.
Suasana di Monumen Kemerdekaan tidak bergitu ramai, bahkan sepertinya tidak ada orang lain yang berkunjung ke area ini selain kami. Monumen ini memang terletak di tengah-tengah jalan sehingga kami hanya bisa melihatnya di bahu jalan yang berjarak sekitar lima meter dari monumen. Hanya terdapat beberapa tentara yang bertugas dan mobil yang berlalu-lalang di jalan saja yang meramaikan area Monumen Kemerdekaan ini. Monumen Kemerdekaan ini dibangun pada tahun 1958 untuk mengenang kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Prancis. Prancis telah menguasai Kamboja selama kurang lebih 90 tahun dari tahun 1863 hingga 1953.
Tidak terasa kami sudah menghabiskan waktu cukup banyak untuk mengambil banyak momen di monumen ini. Kami pun memutuskan untuk berjalan kaki menuju hostel. Tepat sebelum kami beranjak pergi meninggalkan menumen ini, kami melihat beberapa rombongan backpacker lain yang berwajah serumpun dengan kami. Tapi sepertinya mereka bukan dari Indonesia, karena mereka hanya melihat kami sepintas saja dari kejauhan. Jarak kami pun semakin dekat, dan tiba-tiba ...
Usai menikmati indahnya monumen dan jalan sekitar, kami pun menuju patung Pak Norodom Sihanouk. Rupanya Pak Norodom ini sangat dihormati oleh penduduk Kamboja sehingga penduduk Kamboja membuatkannya patung untuk mengenang jasa-jasanya. Di patung itu tertulis HIS MAJESTY PREAH BAT SAMDECH PREAH “NORODOM SIHANOUK” HEROIC KING, FATHER OF INDEPENDENCE, TERRITORIAL INTEGRITY AND UNITY OF THE KHMER NATION. Dari tulisan itu sudah mensiratkan bahwasannya jasa-jasa beliau sangat dihormati, dihargai dan dikenang oleh masyarakat Kamboja.
“Mas, dari Indonesia ya?” ujar salah satu anggota rombongan tersebut sambil menunjuk Mas Ario.
“Iya Mas, kok tau?” sontak Mas Ario langsung bersalaman dengannya.
“Iya, kaosnya Kaskus,” ujarnya lagi. Kami pun saling bersalaman dan bertukar cerita tentang perjalanan kami. Rombongan ini terdiri dari delapan cowok yang sedang liburan kuliah. Mereka adalah mantan mahasiswa STAN yang sedang menjalankan tugas studinya di salah satu Universitas. Kami pun sangat senang karena bisa bertemu saudara sebangsa setanah air dikesempatan ini.
Usai bertukar cerita tentang perjalanan masing-masing, kami pun berfoto bersama dan berpamitan. Sebelum berpamitan tiba-tiba Mas Trian, salah satu anggota rombongan itu, bertanya, “Ada yang dari Jawa Timur nggak?”
Aku pun langsung mengacungkan tangan. “Aku Mas, aku,” ujarku semangat.
“Waaah!! Jawa Timur mana kamu?” tanyanya.
“Aku Pasuruan Mas, Pasuruan Kota. Ini Mbak Fiyya juga Jawa Timur tapi Malang,” jelasku.
Waah, Serius kamu Pasuruan? Aku juga Pasuruan,” ujarnya kemudian. Ternyata dia adalah salah satu tetangga Kecamatan. Tidak disangka, di Bumi-Nya yang begitu besar ini ternyata bisa bertemu dengan penduduk Pasuruan. Padahal selama di Jogja, aku hampir tidak pernah bertemu dengan orang yang se-kota denganku saat berkenalan. Ya Allaaah, mungkin ini jodoh! Pikirku mulai berandai-andai yang aneh ‘lagi’. Sayang oh sungguh sayang, beliau sudah beristri dan beranak. Pupuslah sudah harapanku hahaha :P. Sebelum berpisah ke hostel masing-masing, tidak lupa kami menyempatkan foto bersama di dekat monumen kemerdekaan. Hal ini menjadikan persaudaraan sebangsa dan setanah air kami terasa sangat kental saat sesi foto bersama.

#TIPS 9 :

  • Selalu lakukan tawar-menawar jika menggunakan tuk-tuk hehe.

Komentar

Postingan Populer