Day 5 – 7 Januari (On Air Radio Ngaph Ngaph)
Siang ini
kami akan menuju Phnom Penh, Kamboja. Kami berangakat dengan Giantibis (bus hasil
searchingnya Mas Gasa) yang sudah kami pesan jauh hari sebelum kami berangkat. Bus
ini rupanya sering digunakan turis asing menuju Kamboja. Untung agen bus ini
tidak jauh dari hostel tepatnya di sisi barat central market. Kami sempatkan dulu untuk membeli bekal makan siang
di mini market sebelum sampai di agen bus. Aku dan Mbak Fiyya yang sepertinya
kurang kenyang kalau cuma makan roti memutuskan untuk pergi ke restoran junkfood yang menurut peta tidak jauh
dari tempat pangkalan giantibis. Bisa dibilang dekat juga sih, tapi kalau jalan
ya akan terasa capeknya, hihi.
Setibanya
di pangkalan bus, kami diminta untuk menunggu busnya yang memang belum standby. Penjaganya bilang kemungkinan
sekitar 15 menit lagi bus akan sampai di pangkalan. Dengan waktu 15 menit
tersebut aku nekat balik lagi ke mini market untuk membeli snack-snack khas Vietnam. Ini menjadi kebiasaanku saat jalan-jalan
ke luar negeri harus membeli snack-snack
untuk dijadikan oleh-oleh. Sempat pusing juga memilah-milah snack di mini market ini. Label halal
tentu tidak tersedia di sini, ditambah lagi tulisan komposisinya juga dengan
bahasa Vietnam, makin pusing lah kepala barbie... Alhasil, aku hanya membeli
biskuit dan permen mint saja yang Insyaallah aman untuk dikonsumsi.
Aku juga
sempat bertemu dengan Mbak Hasna dan Mbak Hayati di sini. “Hai, Hasna, Hayati!”
sapaku.
“Oh,
Hi!” ujarnya kemudian. Kami sempat ngobrol sedikit dan aku pun berpamitan
dengan mereka bahwasannya kami akan ke Kamboja siang ini. “Alright! Take care,”
tutupnya seraya melambaikan tangan.
Selesai
dengan belanja snack, aku sempatkan
mampir lagi ke toko souvenir di dekat
agen bus. Aku tertarik dengan postcard
yang berjajar rapi di depan toko. Barang-barang yang dijual di sini relatif
murah dibandingkan dengan toko souvenir
sebelumnya yang kami kunjungi di dekat gereja. “Wah sepertinya harus kasih tau
Mas-Mas sama Mbak-Mbak nih,” batinku. Saat kembali ke agen pun aku langsung
woro-woro pada mereka, dan mereka pun tertarik, haha. Sepertinya kami sedikit
melupakan waktu, sebentar lagi bus akan tiba, tapi tetap saja kami tidak mau
kehilangan kesempatan untuk membawa souvenir
dari negeri ini.
Benar
dugaanku, bus sudah datang tepat ketika mereka berada di toko souvenir. Mbak-mbak penjaga sudah
menyuruh kami untuk segera memasukkan barang bawaan. Aku bernegosiasi dengan
Mbak penjaga itu agar ditunggu sebentar, tapi penumpang lain sepertinya sudah
tidak sabar untuk berangkat. ‘Waduuuh, gawat nih!’ batinku mulai panik. Aku
berlari ke toko souvenir tersebut
untuk memanggil mereka. “Mbaaak, Maaas, Ayo buruan!” teriakku. Rupanya aku
menghebohkan seisi toko, haha. Seketika kami langsung berlarian menuju bus yang
akan kami tumpangi. Penumpang lain sudah duduk manis di dalam bis. Kami masih
sibuk menata barang kami di bagasi.
“Eh, eh
poto sama Giantibis-nya dulu laah,”
ajak mas Ario. Meskipun waktu sudah mepet kami sempatkan ber-selfie ria untuk mengabadikan momen riweuh ini. “I am sorry Miss, just a
minute,” ucap Mas Ario meminta ijin sembari menyiapkan ancang-ancang dengan
monopod-nya. “Satu, dua, tiga.”
Kami
mendapat tempat duduk di bagian depan bis. Di bagian paling depan diisi oleh
Bapak Bule dan juga ibu-ibu lokal (sepertinya). Di belakang Bapak Bule ada
Mas-mas negro yang cuma duduk sendirian. Lalu diselingi dengan rombongan kami,
dan tepat di belakang kami ada rombongan orang-orang Cina. Awalnya kami ngobrol
ngalor-ngidul tentang destinasi-destinasi menarik di Phnom Penh. Satu jam
kemudian kami terdiam dan mulai menikmati pemandangan desa di Vietnam.
Keadaannya tidak jauh beda dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Ketika
asyik menikmati pemandangan sekitar tiba-tiba muncul notifikasi message di grup WA.
Lagi dengerin on air radio Cino nih,
marem tenan.
Tulis Mas Hengki.
Wkwkwk. Ngantuk padahal aku. Merdune Pak
Lik e.
Balas Mbak Fiyya kemudian.
Pak Lik di belakangku kordennya minta
ditutup.
Tulis Mas Gasa kemudian.
Lha ya kui penyiare Sa. Balas
Mbak Fiyya.
Lha ya kui, kok nggak putus-putus
ngomongnya kalau on air. Tulis Mas Ario.
Yang di depan masih on air pakai bahasa
ngaaph ngaaaph. Tulisku yang kemudian diiringi cekikian-cekikan
dari bangku kami. Bahasa orang Vietnam hampir sama dengan Kamboja dan Thailand.
Pengucapannya agak mendengung dan mereka kadang suka menyeret kata terakhirnya,
jadilah saya bilang bahasa ngaph ngaph, hihih.
Wakakakakaka. Ngaaphak2. Divideo laah.
Can?
Balas Mas Gasa kemudian.
Bahasa megap-megap iki. Mas
Hengki membalas.
Jiaaan, salah masuk planet kayanya kita. Tulis
Mbak Fiyya. Percakapan pun diteruskan dengan adanya kiriman hasil rekaman dari
Mas Hengki (karena Mas Hengki posisi duduknya paling dekat dengan Pak Lik Cina
itu).
Perjalanan
menuju perbatasan Vietnam dan Kamboja kami tempuh selama empat jam. Daerah
perbatasan di Vietnam menurutku hampir sama dengan daerah perbatasan Indonesia
yakni seperti di Nunukan yang pernah saya datangi. Bedanya, tanah-tanah lapang di
sini tidak sehijau di Nunukan. Alhamdulillah proses imigrasi kami jalani dengan
lancar. Proses imigrasi ini juga dibantu dari pihak travel giantibis, sehingga
kami tidak perlu antri begitu lama. Tapi perlu berhati-hati di area imigrasi
ini, ada banyak modus “scam.” Kami
mengalami hal tersebut. Di bagian barisan antrian imigrasi saya, kami tidak
dipungut biaya untuk menstampel passport kami, tapi di bagian tempat antrian
Mas Gasa, Mas Ario, dan Mbak Rias diminta one
dollar. Nah loh? One dollar buat
apa coba?!
Orang-orang
Kamboja memang menggunakan dua mata uang, yaitu Cambodian Riel (KHR) dan juga US
Dollar (USD). Ternyata, modus one
dollar ini sudah menjadi tradisi para petugas imigrasi Kamboja untuk
meminta pada turis asing. Banyak kejadian serupa yang diceritakan di
situs-situs traveller. Mungkin memang
belum bejo, jadinya kena deh!
Sebelum
melanjutkan perjalanan lagi selama empat jam menuju pusat kota Phnom Penh, kami
dimampirkan ke sebuah pertokoan duty free
(layaknya di bandara). Para penumpang dipersilakan ke toilet, jalan-jalan
sejenak, dan juga dinner (merkipun
masih jam empat sore). Kami memilih untuk beristirahat dan salat di sini. Namun
sayang, di pertokoan besar ini masih belum disediakan praying room. Alhasil kami memutuskan untuk salat berjamaah di
dalam bus (kaya rombongan hajian gitu, hehe). Usai kami salat di dalam bis,
penumpang lainnya juga masuk ke dalam bus dan bus pun langsung menuju Phnom
Penh.
Kami
tiba di Phnom Penh sekitar pukul 20.00 waktu Phnom Penh. Kami masih buta arah
dengan Phnom Penh. Untung di dalam Bus Giantibis tersedia wifi. Kami sempat
tanya Mbah Google restoran halal saat perjalanan tadi. Mbah Google menjawab
bahwasannya ada Warung Bali (yang pemiliknya yakni orang Indonesia aseli lhoo!)
di Phnom Penh yang letaknya ternyata tidak jauh dari hostel kami. Yeay, alhamdulillaah
rezeki anak-anak saleh salihah!!
Setiba
di Phnom Penh kami langsung menuju Warung Bali untuk mengisi perut kami yang
sudah bergendangan. Sesuai dengan arahan dari Mbah Google, kami pun sampai di
Warung Bali tanpa nyasar. Kami langsung disambut hangat oleh Bapak-Bapak yang
bekerja di warung ini. Benar saja mereka menyapa kami menggunakan Bahasa
Indonesia. Wow, Akhirnya bertemu saudara
di sini, Cool!
Kami makan malam sambil ditemani dengan Pak
Firdaus yang merupakan owner Warung
Bali ini. Beliau adalah mantan chef
Kedutaan Besar Republik Indonesia Phnom Penh. Beliau didisposisikan oleh chef lain ketika Pak Dubesnya ganti. Alhasil
beliau berkarya mandiri dengan membuka Warung Bali di Phnom Penh.
#TIPS 7 :
- Cara asyik menggunakan jalur darat dari Vietnam menuju Kamboja yaitu menggunakan Giant Ibis. Meskipun ada beberapa bis lain yang harganya lebih murah, namun Giant Ibis ini terkenal dengan fasilitas keamanan dan kenyamanan yang lebih baik. (Bukan iklan, tapi emang rekomendasi banget! Hehe)
- Bawalah bekal makanan secukupnya untuk perjalanan darat selama delapan jam (bisa lebih).
- Simpan kamera dalam-dalam ketika berada dalam kantor imigrasi. No Photo!
- Awas penipuan! Bukan rahasia umum, biasanya kamu akan diminta 1 USD oleh petugas imigrasi (yang nakal). Kalau berani, kamu bisa menyangkal, tapi untuk lebih amannya turuti saja permintaan petugas imigrasi tersebut agar tidak menimbulkan masalah.
- Jangan lupa mampir ke Warung Bali ketika sudah sampai di Phnom Penh. Lokasinya tidak jauh dari tempat pemberhantian Giant Ibis. Masakan khas Indonesia akan memanjakan lidahmu setelah berlelah-lelah di bis hampir seharian.
Komentar