Datarnya Rawa Pening 10 Tahun Lagi
Mahasiswa
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Semester Dua kemarin (12/7) telah
menyelesaikan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan pertama (KKL 1). Dalam kuliah
kerja lapangan yang dilakukan selama empat hari yaitu mulai Hari Senin (9/7)
sampai dengan Hari Kamis (12/7) ini dilakukan dengan penuh semangat. KKL 1 ini
dimulai dari menyusuri zona selatan DIY, kemudian dilanjutkan menuju zona
tengah Jawa Tengah hingga menuju zona utara Jawa Tengah dan berahir kembali ke
zona tengah yaitu Kali Putih yang berada di daerah Jalan Raya Yogya-Magelang.
Dalam KKL 1 ini, mahasiswa mengamati bentang lahan pada zona-zona tersebut.
Selain itu, mahasiswa juga mengamati tentang sosial budaya yang ada di zona itu.
Pengamatan
yang menarik dari KKL 1 ini adalah bentang lahan yang ada di daerah Bandungan
dan Rawa Pening. Daerah ini memiliki
keterkaitan yang saling mempengaruhi. Daerah Bandungan dan daerah Rawa Pening
merupakan kawasan wisata alam yang konvensional. Mengingat bahwa wisata dibedakan menjadi wisata konvensional
dan wisata minat khusus. Wisata konvensional yaitu wisata yang digemari atau
sering dikunjungi masyarakat pada umumnya. Berbeda dengan wisata minat khusus
yang hanya dikunjungi beberapa orang dan atau ada keperluan tertentu sehingga
orang tersebut mengunjungi kawasan wisata itu. Rawa Pening dan Bandungan ini
merupakan kawasan yang dikunjungi banyak orang yang hanya sekedar ingin
melepaskan penat ataupun untuk menghabiskan waktu liburannya. Maka dari itu,
kedua wisata ini termasuk dalam wisata konvensional.
Daerah Bandungan
yang terletak pada lereng Gunung Ungaran ini memiliki kemiringan antara 400
sampai 450 yang artinya kemiringan tersebut antara 90% hingga 100%.
Lahan dengan kemiringan tersebut seharusnya merupakan kawasan lindung dan atau
kawasan penyangga. Akan tetapi, di daerah Bandungan yang memiliki kemiringan
lahan seperti itu tidak difungsikan semestinya yaitu sebagai kawasan lindung
dan atau kawasan penyangga. Sebaliknya digunakan sebagai kawasan pariwisata
dengan fungsi lahan sebagai pemukiman dan perkebunan. Dengan pengalihan fungsi lahan seperti ini,
maka menurut seorang geograf akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi
daerah dibawahnya. Salah satunya yaitu daerah Rawa Pening. Dengan pengalihan fungsi lahan seperti ini,
tingkat erosi di daerah hulu akan semakin banyak karena yang seharusnya lahan
tersebut ditanami oleh tanaman-tanaman keras dan tahunan, tetapi kali ini
digunakan sebagai kawasan perkebunan yang ditanami tanaman-tanaman musiman.
Tanaman musiman ini memerlukan penggemburan tanah. Proses penggemburan tanah
ini menyebabkan material tanah menjadi
mudah terangkut air. Dari sinilah tingkat sedimentasi di daerah hilir sangat
mudah terjadi.
Dalam
pengamatan geograf, hal ini sudah dibuktikan dari luas wilayah perairan yang
ada di Rawa Pening kini semakin menyempit. Rawa Pening yang dahulu memiliki
luas sekitar 2.800 hektare, kini telah
kehilangan kurang lebih 20% dari luasnya. Ini merupakan dampak sedimentasi dari
proses erosi di daerah hulu. Sedimentasi ini tidak hanya disebabkan dari daerah
hulu, melainkan juga disebabkan karena banyaknya tumbuhan eceng gondok yang
tumbuh di perairan tersebut. Kemudian eceng gondok tersebut mengalami masa
pembusukan yang menyebabkan proses sedimentasi di tepi-tepi waduk. Dan ini menyebabkan
sirkulasi air di daerah tersebut tidak baik, maka penurunan volume air akan
terjadi. Padahal selama ini air Rawa Pening dimanfaatkan berbagai aktivitas
masyarakat yaitu sebagai irigasi pertanian dan Pembangkit Listrik Tenaga Air
Jelok yang memiliki kapasitas 15 ribu kilowatt serta Pembangkit Listrik Tenaga
Air Timo dengan kapasitas 10 ribu kilowatt. Dan sedimentasi ini telah digunakan
sebagai lahan pertanian bagi masyarakat sekitarnya. Dengan pesatnya pertumbuhan
laju sedimentasi di daerah ini, maka terdapat perkiraan bahwa Rawa Pening ini
dapat menjadi sebuah daratan pada 10 sampai 20 tahun mendatang.
Komentar